Kamis, 26 Mei 2016

Panggung Dokumentasi


Sedikit bercerita tentang panggung. Sudah sangat jarang sekali saya menonton konser musik, padahal dulu saat Kuliah hampir setiap minggu saya bisa menonton pertunjukan seni. Ya jelas, saya kuliah di Fakultas Seni Pertunjukan yang memang setiap minggunya ada saja pertunjukan yang bisa di apresiasi. Era tersebut adalah dimana saya mendapatkan banyak sekali influence tentang panggung. Dimulai dari panggung kecil tanpa lighting dan sound system, sampai dengan panggung penuh efek lampu dan sound yang memanjakan gendang telinga. Pada akhirnya saya mengerti bahwa sesungguhnya yang tak bisa dikalahkan dalam sebuah pertunjukan adalah isi dari apa yang dipertunjukan. Tentu ini sangatlah subjektif karena berhubungan dengan nilai. Sedangkan dalam nilai tersebut tergantung pada individu yang memberikan apresiasi. Pertanyaan selanjutnya jika Seni itu tidak bisa di nilai, lalu mengapa ada Institusi yang mengajarkan seni dengan cara di nilai, yang seharusnya tak ternilai dengan huru A, B, atau C. hmmm sudah ku duga, ini pembahasan yang sulit.

Kembali ke panggung, selepas masa perkuliahan. Panggung yang saya apresiasi menjurus ke budaya pop. Saya menonton konser Metal Burgerkill di Senayan sampai yang terakhir saya menonton Raisa manggung di salah satu pentas seni salah satu SMK swasta di Jakarta. Jauh sekali dari apa yang saya sering tonton ketika di masa perkuliahan. Dan juga kuantitas menonton pertunjukan saat bekerja jauh sekali berkurang, praktis dalam 4 tahun setelah kelulusan saya hanya menonton kurang dari 10 pertunjukan, itu pun tidak semuanya rampung saya tonton.dasar  sarjana seni Murtad!

 Tetapi tetap ada persamaan dari apresiasi pertunjukan dulu dan sekarang, yaitu saya sangat suka mendokumentasikan. Di akhir masa perkuliahan bahkan saya sering diperbantukan dalam hal dokumentasi ujian entah itu video ataupun foto. Bahkan rasanya saya lebih sering memotret dari pada mentas, padahal jurusan saya membuka kesempatan lebar untuk berkesenian dalam hal ini musik. disamping saya sadar skill saya dalam bermusik sngatlah parah. Mangkanya saya lebih suka mendokumentasikan. Alasannnnn!

Saya hanya ingin lebih banyak kesempatan untuk mengapresasi pertunjukan. Menyenangkan bernyanyi dalam konser, atau  hanya ikut menganggukan kepala karena tidak hafal lagu. Dan yang terpenting saya harus bisa mendokumentasikan pertunjukan dengan lebih baik. Karena sejarah selalu ditulis oleh Pemenang. Gak nyambung!

Minggu, 27 Januari 2013

Mengendalikan



Sedikit mengenai prosa kasar saat ini dan dulu yang sebenarnya belum terlalu dulu, yang kemudian mencari benang yang menghubungkan menjadikan sifat dasar seorang anak manusia:

 Ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan disini, “saya tidak mahir bermain instrumen musik apapun”. Hanya bisa sedikit mengikuti dan perlu proses yang terus menerus sehingga bisa memainkannya. Kesalahan yang dirasakan terjadi ketika saya memilih Institusi Seni sebagai tempat  menimba ilmu. masih teringat di awal  tes seleksi masuk ISI, saya hanya belajar satu lagu yang terus menerus saya latih. Sehingga pakem ingatan menjadi patokan, kala itu saya bisa jamin di saat itu saya buta ritme apalagi melodi. Untunglah jurusan yang saya pilih menekankan saya terhadap pendeskripsian tertulis (Pengkajian Etnomusikologi). Entah apa yang ada dipikiran saya saat memandang Etnomusikologi sebagai sebuah ilmu. Ketidak tahuan secara jelas seperti apa ilmu ini menjadikan saya sedikit linglung dan kacau di awal semester. Proses pengenalan yang tidak disarankan untuk siapapun yang ingin masuk jurusan ini. Hanya berbekal ilmu antropologi yang saya sukai ketika duduk di bangku sekolah menengah atas, saya mendeskripsikan Etnomusikologi sama dengan antropologi yang ditambah bidang musik. Pemahaman dangkal mengenai musiklah yang membuat saya linglung setelah masuk jurusan ini.

Setelah bergelut dengan kekacauan, kerancuan, serta ketidak berdayaan di awal semester, semangat muncul ketika IP di awal semester meluncur mulus. Kaget, Bagaimana tidak dengan proses kegelisahan yang melanda di awal semester antara meneruskan kuliah atau stop dan pindah jurusan, IP yang didapatkan melebihi angan yang saya bayangkan. Setelah diselediki IP yang saya dapatkan saat itu bukanlah karena saya mahir dalam mata kuliah yang diambi,l apa lagi mata kuliah praktek. Hal itu lebih karena bagaimana proses memahami mata kuliah tersebut, dan juga di semester awal masih banyak mata kuliah umum yang sama dengan pelajaran di sekolah menengah. Masih teringat bagaimana saya perlu mengulang-ulang latihan gamelan Jawa sampai saya bisa memainkannya, itupun dengan hasil yang hanya lumayan jauh dari kata baik. prosesnya lebih  terhadap pola mengingat bukan karena feel yang dirasakan ketika memainkan. Berbeda dengan teman-teman saat itu yang memang telah memiliki latar belakang sebagai pemusik, paling tidak hidupnya pernah berhubungan dengan dunia musik.

Proses tersebut dijalani secara terus menerus, feel yang dirasakan ketika bermain musik akhirnya bisa sedikit terasa, butuh proses panjang untuk bisa merasakan nikmatnya bermain musik. Feel yang didapatkan sedikit banyaknya mempengaruhi proses belajar mata kuliah praktek pada saat itu, setidaknya walaupun saya tetap harus mengulang-ulang materi kuliah praktek namun dengan adanya feel yang didapatkan, itu menjadikan saya lebih enjoy dan tidak mudah menyerah dalam proses pembelajaran. Target saya saat itu adalah menghajar habis mata kuliah teori, karena teori dirasakan lebih mudah untuk dipelajari. Sedangkan dalam mata kuliah praktek saya hanya mematok target “bisa mengikuti” karena mata kuliah praktek memerlukan waktu yang lama dalam memahaminya.

Dalam prosesnya kemudian Saya dihadapkan dengan mata kuliah yang teramat sangat menakutkan saat itu. Bagaimana tidak Instrumen Bawaan diambil di semester 7, sedangkan berita “keangkeran” mata kuliah ini sudah terngiang-ngiang dari semester 3, dalam kurun waktu semester 3 sampai dengan semester 7 saya dihantui dengan mata kuliah ini, hal ini dikarenakan cerita dari kaka kelas dan juga proses kaka kelas yang mengambil instrumen ini, saya rasa ini sangat sulit!  dalam instrumen bawaan mahasiswa dituntut untuk mahir membawakan salah satu instrumen etnis dari daerahnya, memang Instrumen Bawaan tidak mewajibkan mahasiswanya untuk membuat komposisi musik, tetapi dalam instrumen Bawaan mahasiswa dituntut mahir dan menonjol dalam membawakan instrumen tersebut.

Satu hal yang saya pikirkan saat itu “saya harus membawakan instrumen apa?” karena saya tidak mempunyai riwayat hidup mahir dalam membawakan instrumen apapun. Untunglah saat itu ada Karinding, Rinding, dan Instrumen sejenis lainnya yang memang saya koleksi. Diawal saya sempat ragu apakah bisa instrumen sekecil dan se-sederhana itu bisa menjadi Instrumen Bawaan. . Pertemuan saya dengan Karinding (atau alat sejenis ini yang sejenis namun berbeda) adalah ketika saya berkunjung ke desa Beji Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunung Kidul. Dimana saya bertemu dengan Rinding variant yang sama dengan Karinding (Sunda) namun berbeda teknik permainan. Jadi sebelum saya bertemu dengan Karinding yang berasal dari tanah nenek moyang saya yaitu Sunda, saya dipertemukan terlebih dahulu dengan Rinding instrumen sejenis Karinding di tahun 2009. Setelah itu barulah saya tahu jika di Sunda juga ada instrumen sejenis Rinding yaitu Karinding. Singkat cerita sebelum bertemunya dengan mata kuliah instrumen bawaan saya sering menggunakan Rinding dan melatihnya secara tidak sengaja, karena rasa penasaran yang begitu besar bagaimana instrumen itu bisa mengeluarkan bunyi. Setelah saya mendapat Karinding (Sunda) yang saya cari langsung ke tempat pembuatannya di Parakanmuncang Kab. Sumedang. Saya semakin terlatih dan bisa menggunakan instrumen ini. Dan dari situlah saya berikrar dalam hati nurani yang paling dalam, bahwa saya mencintai instrumen ini. Dari hal itu kemudian berlanjut pada tugas-tugas kuliah dan tentunya Tugas Akhir Skripsi yang tak terlepas dari instrumen Karinding. Karinding yang kemudian seperti oksigen yang terus memberi nafas sampai saat ini, berlebihan mungkin?

Sebuah prosa yang kemudian menjadikan pondasi untuk tetap berusaha menjalani kehidupan kuliah diluar dari kemampuan saya sendiri. Sebuah proses dimana saya tidak mahir bermain musik tetapi berada dalam kampus yang berkaitan dengan musik. Menjadikan saya mencari celah dan beradaptasi untuk tetap menjalaninya dengan sekuat asa dan kemampuan. Dan tentunya faktor pendukung sebuah pemahaman dangkal mengenai jenis dari ilmu Antropologi yang kemudian malah menjadikan saya terus mencari seperti apa ilmu Etnomusikologi. Ketika saya menjadi suka menganalisis sebuah kejadian dan mendeskripsikannya secara singkat, tetapi juga bukan menjadikannya sebuah pembenaran, lebih terhadap Relativisme yang menjadikan saya lebih menimbang dan mencari letak sebuah tata pikir sebab dan akibat. Dari hal itulah muncul sikap kritis (walau kadang menjadi siksaan), suatu contoh ketika saya selalu gusar ketika dengan hal yang menurut saya tidak seperlunya disalahkan, namun kemudian menjadi salah. Karena saya lebih merasa sifat benar atau salah itu sebuah fleksibilitas dan relativ.

Nilai Pengendalian

Syukur alhamdulillah kabar ini mungkin telat saya beritahukan, saya sudah bekerja dan sedang dalam masa training selama tiga bulan. Jika dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya termuat bagaimana sulitnya mencari materi mandiri, saat ini dan semoga seterusnya materi mandiri bisa terus tercari dan terdapatkan. Aamiin.. Terlepas dari semua yang saya tuliskan, saat ini saya kembali dalam sebuah bingkai prosa yang sama yang mungkin nanti akan kembali menjadi hal yang menarik untuk diceritakan. Jika diatas saya ceritakan mengenai kehidupan kuliah saya di jalur yang tadinya saya tidak ketahui yaitu ilmu Etnomusikologi. Saat ini saya bekerja di bidang yang juga jauh dari ilmu yang saya dapatkan selama kuliah, saya bekerja di Perusahaan Jepang yang bergerak dalam bidang pendidikan Matematika dan Bahasa Inggris. Sampai jumpa di prosa selanjutnya, semoga saya bisa terus mengendalikan.. aamiin... 

Minggu, 28 Oktober 2012

Kembali dengan Karinding


Muncul kembali keinginan saya untuk menuliskan instrumen sederhana yang selalu memberikan semangat dalam setiap getarannya. Setelah sebelumnya menempuh Tugas Akhir Skripsi dengan judul “Kelompok Musik Karinding Attack di Bandung Jawa Barat” saya kembali membuka catatan-catatan kecil mengenai instrumen Karinding, yang tidak dari semuanya dimasukan kedalam skripsi (jika dibuang sayang). diawali dari kimung salah satu personil Karinding Attack yang memang selama skripsi sering saya jumpai dan sering saya “ganggu” untuk mencari informasi dan keterangan mengenai  kelompok musik “Karinding Attack” yang menjadi objek utama skripsi saya. Kimung memberi kabar melalui twitter jika dia sedang menulis buku Sejarah Karinding Priangan, bayangan saya langsung tertuju kepada pertanyaan dosen penguji Skripsi saya mengenai halaman 23 yang membahas sejarah keberadaan Karinding, di halaman tersebut disebutkan bahwa mengenai keberadaan Karinding di tanah Pasundan, perlu tinjauan sejarah yang lebih khusus.
Rasa penasaran saya mengenai sejarah Karinding yang selama ini hanya berupa issue dan kebanyakan bersifat folkor atau cerita masyarakat yang kadang beda satu sama lainnya, akan segera dituliskan oleh Kimung. Semoga nantinya Buku Kimung bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagian pencinta instrumen Karinding, mengenai bagaimana Karinding hadir di tanah Priangan. Satu hal lain yang ingin saya sampaikan disini adalah semoga melalui catatan-catatan kecil saya ini bisa sedikit membantu Kimung dalam penulisan bukunya. Kalaupun tidak, biarkan ini sebagai jembatan pembebas unek-unek tulisan Skripsi saya yang belum semuanya tersampaikan, karena sangat disadari masih banyak lubang menganga yang harus ditambal.

Fun-tasi sejarah
Instrumen sejenis Karinding dianggap telah hadir di zaman pra-sejarah seperti di ungkapkan Curth Sachs dalam bukunya The history of musical instrumen dan Ragil Soeripto dalam Buletin Kebudayaan Jawa Barat “Kawit” yang terbit tahun 1992 menyebutkan:
the late stratum comprises those instrumen which, prehistorically, occur in more recent neolithic exavations, and, geographically, are confined to certain limited areas. these are: Rubbed wood , nose flute , friction drum, basketry rattle, cross flute, drum stick, xylophone, transvers trumpet , jaws harp this rough chronology, tought estabilished on the objective data of distribution and prehistory, gives satisfaction also to the mind concerned with workmanship and cultural level(The history of musical instrumen, curt sach, W.W. Norton & Company, Inc. United States of America. P. 64)

“Rachmat Ruchiyat berkesimpulan bahwa: disamping berkembangnya musik bambu di Indonesia erat sekali kaitannya dengan perpindahan penduduk dari daratan Asia 1000th SM bahkan jauh sebelumnya (10.000 – 5000 SM) sudah ada suku suku bangsa yang telah menetap juga dari daratan Asia yang sisa-sisanya antara lain di Irian Jaya ternyata memiliki berbagai alat musik dari bambu, antara lain yang menyerupai Karinding (Pasundan), atau Rinding atau genggong (Jawa Tengah & Jawa Timur) atau Bali Ginggung” (Ragil Soeripto, "Musik Bambu" Buletin Kebudayaan Jawa Barat, No. 45 (1998), p. 80)

Catatan Ragil Soeripto dipertanyakan oleh dosen penguji, karena menurut beliau kemungkinan hadirnya instrumen sejenis Karinding dari negara daratan asia saat perpindahan di 1000 tahun sebelum masehi, bukan faktor utama terbentuknya instrumen Karinding. Jika ditinjau dari segi bahan, bumi Pasundan merupakan endemik tumbuhan Bambu, bahkan pohon aren (kawung). Jadi jika kembali kepada teori Pono Banoe dan timbul harjono yang menyebutkan:

“Pada tahap awal, mulut, tangan, kaki, dan badan manusia dapat dipandang sebagai instrumen musikal yang bersifat internal.”
(Pono Banoe,  Pengantar Pengetahuan Alat Musik, Jakarta, C.V. Baaru, 1984. p.12)
Dalam tahap selanjutnya muncul beberapa instrumen eksternal yang terbuat dari kayu, bambu (tongtong), tulang (seruling), kulit kerang (trompet), kulit binatang (gendang), dan lain-lain.
(Timbul Haryono, Kendang Dalam dimensi Waktu, ruang, dan Bentuk, Yogyakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986. p. 2-3)

disimpulkan bisa saja instrumen Karinding Hadir karena didukung melimpahnya bahan baku yang bisa dijadikan instrumen musik. Inilah yang membuat saya selalu berfantasi mengenai sejarah terbentuknya Karinding, karena memang terlalu banyak jenis Jew’s Harp yang berkeliaran di muka bumi ini dan semuanya bisa jadi saling berhubungan dan semakin membuat saya berfikir bagaimana instrumen itu tersebar dengan bentuk dan fungsi yang hampir sama. Yang akhirnya malah menjadikan saya stuck untuk menuliskan lebih jauh bagaimana sejarah terbentuknya Karinding.

Apalah arti sebuah nama
Kemungkinan penamaan Karinding hadir dalam obrolan saya bersama Asep Nata. Beliau menuturkan jika mungkin saja penamaan Karinding hadir ketika Mataram menaklukan Kerajaan sunda. karena seperti yang saya ketahui Mataram dalam hal ini jawa mempunyai alat musik sejenis Jew’s harp yang mereka sebut dengan “Rinding” yang sampai saat ini masih bisa di jumpai di Desa Beji Ngawen Gunung Kidul. Hal ini dirasakan “mungkin” karena efek yang dihasilkan ketika masa peperangan bisa saja berpengaruh terhadap proses berkesenian masyarakat sekitar, seperti ketika portugis meninggalkan jejak dengan adanya musik Kroncong di Indonesia. Namun ini hanyalah spekulasi, karena nama yang mirip juga hadir dari Kalimantan yang menyebut instrumen sejenis dengan sebutan Gariding atau Garinding.
Karinding mempunyai dua alternatif bahan baku yaitu, bambu dan pelepah pohon aren. Hal yang menurut saya lebih penting mengenai penamaan, karena Di Tasik penyebutan Karinding hanya di gunakan kepada Karinding berbahan baku pelepah aren, sedangkan yang berbahan baku bambu disebut Kareng. Saat ini penyebutan Kareng jarang ditemui, mungkin karena faktor kebiasaan pelafalan Karinding. Namun saya meyakini jika Jaap Kunts menuliskannya secara benar, karena jika dilihat, Jaap Kunts sudah menuliskan ini semua dengan rapih, sebelum orang Indonesia sendiri sadar akan kekuatan kearifan lokal yang ada. Jika penamaan Kareng telah hilang, mungkin ini karena faktor waktu dan penggunaan, bersyukurlah Jaap Kunts sempat menuliskan ini:
“...Tasik district the jew's harp is called Karinding only when cut from aren wood; when made from bamboo it is there called Kareng...”
“…di Tasik jew’s harp yang di panggil Karinding hanya yang terbuat dari pelepah aren, sedangkan yang terbuat dari bambu disebut Kareng…”
(Jaap Kunts, Music in Java: its History, its Theory, and its Technique, Nijhoff, 1973 p.361)

Sebagian Cerita yang saya percaya!!!
Sebelum bumingnya Karinding seperti saat ini, saya sempat berkunjung ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kuningan untuk menanyakan adakah grup atau kelompok kesenian yang mengusung instrumen Karinding sebagai instrumen utama. Karena sebelum menjadikan “Karinding Attack” sebagai objek skripsi, saya sempat berkeinginan untuk mencari objek skripsi di kampung halaman sendiri. Selain untuk mengangkat Kabupaten Kuningan juga dari faktor biaya yang bisa di minimalisir karena tidak harus sewa kost dan bisa makan sepuasnya di rumah. Tapi saya termasuk beruntung bisa menjadikan “Karinding Attack” sebgai objek skripsi, selain bisa berkenalan dengan mamang-mamang kece, saya juga bisa banyak belajar banyak dari mereka. Dan bisa membuka wawasan secara luas, pokoknya banyak sekali yang didapatkan (intermezzo). Kembali ke pembicaraan DISPARBUD Kab. Kuningan, saat itu saya berjumpa dengan salah satu staff di sana, beliau menuturkan kelompok musik yang mengusung Karinding mungkin tidak ada (pada saat itu), tetapi beliau menuturkan jika instrumen yang biasa mendampingi Karinding yaitu Celempung/Celempungan,  masih bisa di jumpai di kediaman bapak Caca di Cigugur.
Hari itu juga saya langsung bergegas menuju kediaman pak Caca di Cigugur. Beruntung tanpa membuat janji sebelumnya, saya disambut dengan hangat oleh pak Caca. Yang langsung menanyakan maksud dan tujuan saya menyambangi kediamannya. Lalu saya bercerita mengenai ketertarikan saya terhadap instrumen Karinding dan Celempung, dan kemudian direkomendasikan oleh DISPARBUD untuk menyambangi kediaman pak Caca. Ketika saya membahas ikatan antara Celempung dan Karinding pak caca bergegas ke ruangan belakang mengambil instrumen Celempung yang dia miliki. Yang membuat saya Kaget adalah ketika pak Caca mengeluarkan pipa Bambu berisikan Karinding sambil berucap ini Karinding asli buatan Kuningan, tapi pembuatnya sudah meninggal. Hati saya langsung lesu ketika mendengar kata “meninggal” apalagi pak Caca bercerita sudah tidak ada lagi yang meneruskan untuk membuat Karinding. Pak Caca kembali bercerita jika orang-orang tua dulu bilang jika setiap rumah di Cigugur, salah satu anggota keluarganya pasti ada yang mempunyai Karinding. Ini membuktikan jika Karinding juga sempat menjadi Kesenian Primadona di Kabupaten Kuningan. Sejak saat itu saya semakin percaya jika Karinding pernah hidup dan dimiliki oleh sebagian rakyat Pasundan, Walau hanya dari cerita masyarakat (folkor).

Karinding Kuningan

Celempung Kuningan

Berita mengejutkan selanjutnya hadir dari nenek saya sendiri, di usianya yang sudah sangat renta mungkin sekitar 80-90 tahun, karena memang Emih sendiri tidak ingat dengan tahun lahirnya. Ini bukan cerita fiksi karena saya percaya kepada Emih, cerita ini hadir ketika saya secara tidak sengaja memainkan Karinding di kediaman Emih. Secara reflek Emih berbicara setengah heran “hih si aa maen Karinding, jiga adi si Emih basa gadis” (si aa main Karinding, seperti adik emih sewaktu gadis). Lalu beliau bercerita jika dulu adiknya sering memainkan Karinding untuk mencari perhatian para teman laki-lakinya. Saya lalu bersemangat menanyakan hal lainm mengenai Karinding, bagaimana tidak Emih yang sama sekali tidak saya sangka, ternyata mengenal instrumen Karinding. Dan juga menjadi saksi hidup bagaimana Karinding masih memiliki Fungsi sebagai penarik lawan jenis atau sebagai alat untuk bergaul dengan rekan sebaya pada waktu itu. Kekagetan tidak sampai disitu, ketika Emih memegang Karinding lalu dengan raut muka heran berkata “Naha iyeumah Karinding teh Awi, Baheula mah tinu beusi” (kenapa kok ini Karinding terbuat dari bambu, dulu terbuat dari besi), lalu saya kembali menanyakan apakah yang di gunakan adik emih itu benar-benar karinding terbuat dari besi. Dengan yakin emih menjawab jika memang benar Karinding yang digunakan adiknya terbuat dari besi. Saya sempat dibuat heran dan bingung bagaimana bisa Karinding yang selama ini hanya dikenal terbuat dari bambu dan pelepah aren bisa ada yang terbuat dari besi. Sambil memendam rasa tidak percaya (mungkin saja Emih lupa karena sudah puluhan tahun). Rasa penasaran saya langsung saya tanyakan kepada google, mencari sampai dasar web-web yang kurang laku. Sampai pada akhirnya menemukan satu halaman yang memuat “Karinding Beusi” di halamannya. Saya berucap HORE! Ingatan Emih saya masih oke, dan memang Karinding Beusi pernah benar-benar hadir di Pasundan (Jawa Barat). Beruntung dan bersyukur saya memainkan Karinding di hadapan emih, dan ingatan emih yang masih keren (saya bersumpah saya tidak bohong). Berikut bukti jika memang Karinding Beusi di muat dalam web www.antropodium.nl/Duizend%20Namen%20Mhp%20NOMENCLATUUR.htm dan berikut adalah screean capture dari web tersebut:
Screen Capture


Web tersebut merupakan kumpulan nama-nama Jew’s harp dari seluruh dunia yang dikumpulkan dari beberapa literatur.

Berikut merupakan catatan-catatan kecil yang sebagian sudah ada di skripsi, dan sebagian lagi tidak saya masukan karena memang hanya berupa folkor atau obrolan dan juga sebagian ada yang merupakan spekulasi. Masih banyak hal yang bisa dikaji dari instrumen sederhana ini. Semoga bisa bermanfaat… mohon maaf jika banyak kesalahan dalam penulisan… terimakasih..

*di rangkum dari berbagai sumber dan literatur yang sebagian sudah dituliskan di isi

Rabu, 24 Oktober 2012

Proses pengenalan terhadap apapun..


Bandung
19-24 Oktober 2012

Enam hari saya berada di Bandung, kota yang selalu menyuguhkan kerinduan keasikan dan proses dimana saya mewujudkan mimpi, mimpi berada disana, mimpi terhadap tim sepak bola kebanggaan, dan mimpi yang lainnya. Sama halnya dengan tujuan saya berada di Bandung selama enam hari mewujudkan mimpi setelah lulus kuliah, anggap saja ini proses pengenalan terhadap dunia sebenarnya. Memasuki dunia yang membuat orang saling berebut tempat untuk menjadikan hidupnya menghasilkan, menghasilkan apa yang dia inginkan, mungkin secara kasar sebut saja “materi mandiri”. Susunan jadwal di Bandung sudah saya rancang sebelum berangkat, ada beberapa tes dan walk in interview di beberapa perusahaan, dan selanjutnya datang dan berburu tempat di jobfair. Tes langsung di beberapa perusahaan sedikit membuat lega karena peserta hanya beberapa orang, namun tempat yang diperebutkan hanya satu. Sudahlah toh tujuan saya pada awalnya berkenalan dengan dunia mencari kerja. Nothing to lose saja. Selanjutnya adalah di Jobfair yang diselenggarakan oleh salah satu perguruan tinggi negri di Bandung disinilah saya semakin dikenalkan dengan dunia yang sesungguhnya, dunia dimana kita, saya, mereka, kamu atau siapapun berambisi untuk mendapatkan tempat yang bisa menghasilkan “materi mandiri”. Luar biasa sedikit menunduk setelah memasukan beberapa lamaran dan CV, saya berceloteh di dalam hati “berapa puluh perguran tinggi negri yang meluluskan mahasiswanya?, berapa puluh ribu mahasiswa yang lulus dalam satu semester?, berapa perusahaan yang membutuhkan sang pencari kerja?... sial ini gak seimbang!!” hari itu manusia menumpuk menyemuti stand stand perusahaan pencari pelamar. Lagi-lagi saya kembali ke niat awal agar hati ini tidak terlalu terdesak oleh keadaan “saya hanya ingin berkenalan”. Dari obrolan beberapa teman mereka dalam kondisi yang sama, itu sudah lebih cukup untuk menguatkan hati, hari itu saya tidak mau mengeluh, saya ingin menikmatinya dan saya enjoy. Terus berusaha kuat kuat kuat!! Ini sebuah proses terhadap pengharapan yang lebih baik, Semoga ada jalan, dan “materi mandiri” segera menghampiri. Aamiin…

Perut Kampung Halaman
25 Oktober 2012

Ini perkara kambing dan hal yang sudah lama tidak saya lakukan. Pencarian kambing kurban dimulai dari adanya kabar dari kakak sepupu saya yang berniat untuk berqurban di idul adha kali ini. Abah sebagai kakek yang baik dengan senang hati mencarikan kambing yang tepat untuk di kurbankan dan mengajak saya sebagai ojek dadakan dan pengawal pribadinya. Ada beberapa tempat yang dikunjungi dan abah tidak mau membeli kambing di bandar yang tentu saja akan menjual kambing lebih mahal dari harga normal di kandang. Jadi untuk itu abah mengajak untuk masuk ke dalam kampung mencari rumah warga yang mempunyai kambing untuk dijual. Tempat-tempat yang dikunjungi masih di area dalam desa, banyak hal yang saya jumpai terlepas dari kambing yang sedang dicari. Tempat yang sudah lama tidak dikunjungi, berbincang dengan masyarakat, menelusuri jalan yang sudah lama tidak dilewati. Seperti berkenalan kembali dengan masa lalu, daerah yang dulu sering saya lalui ketika bermain semasa menjadi bocah. Kenangan-kenangan itu kembali hadir dalam angan, menyenangkan rasanya.
Ketika abah berbincang dengan salah satu warga bermaksud untuk menanyakan rumah warga yang menjual kambing, ada satu hal yang membuat saya sedikit miris. Sebut saja wa emod, beliau baru saja kehilangan jempol kakinya, di usianya yang senja beliau bekerja sebagai petani,  luar biasa sosok yang gigih dilihat dari usia dan bobot pekerjaan yang dia pikul. namun dalam obrolan tersebut beliau menuturkan sudah selepas lebaran idul fitri beliau tidak lagi beraktifitas, teman abah yang biasanya sering di jumpai di masjid ketika jumatan itu menuturkan jempolnya hilang karena daging dalam kukunya membusuk, entah apa nama penyakitnya, namun jika tidak dipotong yang terjadi adalah menyebarnya pembusukan. Abah tertegun dan mengucapkan astagfirulloh sambil menatap wa emod lalu berbicara, “sabar nya wa, nuju aya cocoba, mugia si uwa kuat, tawakal, insya allah enggal damang deui..” wa emod lalu menimpalnya dengan kata “aamiin pak haji..”. satu hal yang saya pelajari adalah ketika wa emod masih bisa tertawa lepas ketika abah mengajaknya becanda “moal bisa totoker atuh wa ayeunamah” wa emod menimpalinya dengan tertawa lepas, hal yang sedikit membuat saya yakin wa emod memiliki semangat yang seketika seperti muncul di tengah penyakit yang sedang di hadapi. Semoga wa emod cepat sembut dan tetap semangat dan tertawa seperti yang tadi saya lihat. Aamiin…
Kembali ke kambing dengan mencari kandang warga yang lain karena setelah dua tempat yang dikunjungi kambing sudah laku dijual ke bandar, tempat selanjutnya adalah kambing milik mang uka dan mang ojon, ada dua pilihan disini dengan kambing yang sehat dan cocok untuk menjadi daging qurban, tapi usia kambing tersebut belum mencapai dua tahun, dan juga belum ada gigi yang tanggal, Abah menilai seperti itulah persyaratan kambing qurban. Disini juga saya kembali berkenalan, berkenalan dengan bahasa sunda logat kuningan yang sudah lama tidak saya dengar, mang ojon sosok yang masih kental logat Kuningannya, dengan bahasa sunda yang lebih kasar dari sunda lainnya mang ojon menjelaskan keriteria kambing yang dia miliki, “iyeu pak urang ngingu jenuk, ayeuna kari sakieu di beuli ku bandar, alhamdulillah jeung jajan budak” saya sedikit tersenyum mendengar logat mang ojon, karena ketika di jogja saya lebih banyak berinteraksi dengan orang tasik yang logat bahasa Sunda-nya lebih halus, dan juga ketika dirumah saya dikenalkan dengan bahasa Sunda yang lebih halus walau nyatanya masih lebih kasar dari sunda priangan. Namun bahasa mang ojon ini khas sekali logat Kuningan, saya senang dan sempat sedikit merekam melalui handphone ketika abah dan mang ojon berbincang. Dari proses pengenalan-pengenalan tersebut, banyak pelajaran yang bisa diambil dimana saja dan kapan saja, sekarang saatnya untuk memahami pelajaran-pelajaran hidup tersebut, untuk menjadikan saya lebih kuat dalam menghadapi apapun. Aamiin…

Jumat, 27 Juli 2012

Optimalisasi Momen Budaya Kabupaten Kuningan



Gunung Ciremai

Ini merupakan unek-unek, ajakan, dan mungkin juga angan-angan solusi, yang ingin direalisasikan oleh penulis sebagai warga Kabupaten Kuningan. Untuk menjadikan Pariwisata dan momen-momen budaya di Kabupaten Kuningan bisa lebih di Optimalkan. Bukan berarti pemerintah saat ini diam dan tidak melakukan apa-apa, tetapi ada hal-hal yang menurut penulis masih bisa dioptimalkan agar pariwisata Kabupaten Kuningan tidak hanya ramai ketika Lebaran dan Seren Taun (seren taun dianggap momen budaya paling populer). Sebagai berikut:

1. Iklan Kurangnya iklan dan publikasi mengenai informasi tentang pariwisata kabupaten kuningan, ketika kita malah lebih banyak melihat banner-banner, atau big reklame bergambarkan pak bupati. Mungkin lebih baik jika itu diganti dengan iklan objek wisata yang ada dikuningan, setidaknya orang-orang bisa melihat potensi wisata apa saja yang ada dikuningan, atau mungkin pemasangan gambar-gambar momen-momen budaya yang ada di kabupaten kuningan. Akan menjadi lebih baik jika ditunjang dengan desain yang menarik dan tidak alay dan narsis.
2. Website, website kabupaten kuningan yang hanya mengadakan info sekedarnya. Padahal seperti yang kita tahu, di kuningan banyak objek-objek pariwisata dan momen-momen budaya yang tidak kalah dengan daerah lain. Bagaimana para wisatawan akan tertarik dengan keadaan pariwisata kita, dengan keadaan teknologi yang semakin berkembang, pemerintah kuningan malah seperti seakan-akan stuck tidak bergerak. Padahal itu sangat berpotensi untuk mendatangkan wisatawan lebih banyak, karena semua orang bisa mengaksesnya dengan mudah.
3. Nyaah, sangat disayangkan, suatu contoh ketika Reog Cengal punah karena tidak adanya penerus. Dibarengi dengan pendokumentasian yang sangat minim dan sulit dicari. itu menjadikan Reog Cengal hilang begitu saja tanpa ada hal lain yang bisa dikaji. Masih banyak lagi pristiwa-pristiwa budaya yang ada di kuningan yang nasibnya mungkin akan sama jika tidak dipelihara. Cingcowong Luragung, Pesta Dadung Subang, dan masih banyak yang lainya. Selama ini kuningan hanya dikenal dengan pristiwa budaya “seren taun”-nya padahal banyak pristiwa budaya lain yang bisa muncul kepermukaan jiga dikelola dan dipublikasikan dengan baik.
4. Orang Muda, dokumentasi dirasakan sangat penting, selain sebagai sarana regenerasi agar generasi sekarang dan seterusnya mengetahui. Dengan mengandalkan orang-orang “muda” dengan selera kekinian, ini bisa saja terwujud karena kemasan klasik dengan tameng untuk mempertahankan yang lama sama saja bunuh diri, karena orang-orang “muda” sekrang lebih ingin sesuatu hal yang bisa disebut “keren”, biarlah hal hal itu dijadikan jalan, agar mereka nantinya sadar, jika mempertahankan identitas nilai lokal budaya itu penting adanya.
5.Kerja sama, Ini bukan sikap apatis terhadap pemerintah, juga bukan dari pihak lawan politik pemerintahan. Hal ini akan lebih baik jika didukung oleh pihak pemerintah (tapi bukan berarti memasang foto bapak bupati atau staf pemerintahan), bukan untuk mencari keuntungan atau apapun. Hal ini didasari rasa prihatin, ketika potensi pariwisata di kabupaten kuningan yang masih bisa digali kurang publikasi dan pendokumentasian.
6.Yakin, keyakinan ini muncul ketika, semakin banyak orang kuningan yang bergelut di bidang jurnalis, broadcast, fotografi, videografi, dan lain lain. ini dirasakan sangat berperan karena hal-hal seperti itulah yang bisa mewujudkan ide ini, hal yang seakan “sulit”, karena lulusan-lulusan hebat, lebih senang memajukan daerah lain, daripada daerahnya sendiri. Hal ini mungkin karena kurangnya jalan dan informasi, semoga hal ini bisa menggugah para kreator untuk mewujudkan potensi wisata budaya yang ada di Kabupaten Kuningan.

*Penulis lahir dan menjalani aktifitas hingga lulus sekolah menengah atas di Kab. Kuningan, setelah itu menimba ilmu selama 4 tahun di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Hal inilah yang menjadikan penulis tersadar, begitu banyak orang kreatif yang berasal Kabupaten Kuningan. Tidak hanya yang belajar di Yogya, namun juga rekan-rekan yang menuntut ilmu di STSI Bandung, inilah yang menjadikan penulis mempunyai angan-angan agar ide di atas bisa direalisasikan. Semoga…!