Muncul kembali
keinginan saya untuk menuliskan instrumen sederhana yang selalu memberikan
semangat dalam setiap getarannya. Setelah sebelumnya menempuh Tugas Akhir
Skripsi dengan judul “Kelompok Musik Karinding Attack di Bandung Jawa Barat”
saya kembali membuka catatan-catatan kecil mengenai instrumen Karinding, yang
tidak dari semuanya dimasukan kedalam skripsi (jika dibuang sayang). diawali
dari kimung salah satu personil Karinding Attack yang memang selama skripsi
sering saya jumpai dan sering saya “ganggu” untuk mencari informasi dan
keterangan mengenai kelompok musik “Karinding
Attack” yang menjadi objek utama skripsi saya. Kimung memberi kabar melalui
twitter jika dia sedang menulis buku Sejarah Karinding Priangan, bayangan saya
langsung tertuju kepada pertanyaan dosen penguji Skripsi saya mengenai halaman
23 yang membahas sejarah keberadaan Karinding, di halaman tersebut disebutkan
bahwa mengenai keberadaan
Karinding di tanah Pasundan, perlu tinjauan sejarah yang lebih khusus.
Rasa penasaran saya mengenai sejarah Karinding yang selama
ini hanya berupa issue dan kebanyakan
bersifat folkor atau cerita masyarakat yang kadang beda satu
sama lainnya, akan segera dituliskan oleh Kimung. Semoga nantinya Buku Kimung
bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagian pencinta instrumen Karinding,
mengenai bagaimana Karinding hadir di tanah Priangan. Satu hal lain yang ingin
saya sampaikan disini adalah semoga melalui catatan-catatan kecil saya ini bisa
sedikit membantu Kimung dalam penulisan bukunya. Kalaupun tidak, biarkan ini
sebagai jembatan pembebas unek-unek tulisan Skripsi saya yang belum semuanya
tersampaikan, karena sangat disadari masih banyak lubang menganga yang harus
ditambal.
Fun-tasi sejarah
Instrumen sejenis Karinding dianggap telah hadir di zaman
pra-sejarah seperti di ungkapkan Curth Sachs dalam bukunya The history of musical
instrumen dan Ragil
Soeripto dalam Buletin Kebudayaan Jawa Barat “Kawit” yang terbit tahun 1992
menyebutkan:
“the
late stratum comprises those instrumen which, prehistorically, occur in more recent neolithic exavations, and, geographically, are confined to certain
limited areas. these are: Rubbed
wood , nose flute , friction drum, basketry rattle, cross flute, drum stick,
xylophone, transvers trumpet , jaws harp
this rough chronology, tought estabilished on
the objective data of distribution and prehistory,
gives satisfaction also to the mind concerned with workmanship and cultural
level” (The history of musical instrumen, curt sach, W.W. Norton
& Company, Inc. United States of America. P. 64)
“Rachmat Ruchiyat
berkesimpulan bahwa: disamping berkembangnya musik bambu di Indonesia erat
sekali kaitannya dengan perpindahan penduduk dari daratan Asia 1000th SM bahkan
jauh sebelumnya (10.000 – 5000 SM) sudah ada suku suku bangsa yang telah
menetap juga dari daratan Asia yang sisa-sisanya antara lain di Irian Jaya
ternyata memiliki berbagai alat musik dari bambu, antara lain yang menyerupai
Karinding (Pasundan), atau Rinding atau genggong (Jawa Tengah & Jawa Timur)
atau Bali Ginggung” (Ragil Soeripto, "Musik Bambu" Buletin
Kebudayaan Jawa Barat, No. 45 (1998), p. 80)
Catatan
Ragil Soeripto dipertanyakan oleh dosen penguji, karena menurut beliau
kemungkinan hadirnya instrumen sejenis Karinding dari negara daratan asia saat
perpindahan di 1000 tahun sebelum masehi, bukan faktor utama terbentuknya
instrumen Karinding. Jika ditinjau dari segi bahan, bumi Pasundan merupakan
endemik tumbuhan Bambu, bahkan pohon aren (kawung).
Jadi jika kembali kepada teori Pono Banoe dan timbul harjono yang menyebutkan:
“Pada tahap awal,
mulut, tangan, kaki, dan badan manusia dapat dipandang sebagai instrumen
musikal yang bersifat internal.”
(Pono Banoe, Pengantar
Pengetahuan Alat Musik, Jakarta, C.V. Baaru, 1984. p.12)
Dalam tahap
selanjutnya muncul beberapa instrumen eksternal yang terbuat dari kayu, bambu
(tongtong), tulang (seruling), kulit kerang (trompet), kulit binatang
(gendang), dan lain-lain.
(Timbul Haryono, Kendang Dalam dimensi Waktu, ruang, dan
Bentuk, Yogyakarta, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1986. p.
2-3)
disimpulkan bisa
saja instrumen Karinding Hadir karena didukung melimpahnya bahan baku yang bisa
dijadikan instrumen musik. Inilah yang membuat saya selalu berfantasi mengenai
sejarah terbentuknya Karinding, karena memang terlalu banyak jenis Jew’s Harp yang berkeliaran di muka bumi
ini dan semuanya bisa jadi saling berhubungan dan semakin membuat saya berfikir
bagaimana instrumen itu tersebar dengan bentuk dan fungsi yang hampir sama. Yang
akhirnya malah menjadikan saya stuck
untuk menuliskan lebih jauh bagaimana sejarah terbentuknya Karinding.
Apalah arti sebuah nama
Kemungkinan
penamaan Karinding hadir dalam obrolan saya bersama Asep Nata. Beliau menuturkan
jika mungkin saja penamaan Karinding hadir ketika Mataram menaklukan Kerajaan sunda.
karena seperti yang saya ketahui Mataram dalam hal ini jawa mempunyai alat
musik sejenis Jew’s harp yang mereka
sebut dengan “Rinding” yang sampai saat ini masih bisa di jumpai di Desa Beji
Ngawen Gunung Kidul. Hal ini dirasakan “mungkin” karena efek yang dihasilkan ketika
masa peperangan bisa saja berpengaruh terhadap proses berkesenian masyarakat
sekitar, seperti ketika portugis meninggalkan jejak dengan adanya musik
Kroncong di Indonesia. Namun ini hanyalah spekulasi, karena nama yang mirip
juga hadir dari Kalimantan yang menyebut instrumen sejenis dengan sebutan
Gariding atau Garinding.
Karinding mempunyai dua
alternatif bahan baku yaitu, bambu dan pelepah pohon aren. Hal yang menurut
saya lebih penting mengenai penamaan, karena Di Tasik penyebutan Karinding hanya
di gunakan kepada Karinding berbahan baku pelepah aren, sedangkan yang berbahan
baku bambu disebut Kareng. Saat ini
penyebutan Kareng jarang ditemui,
mungkin karena faktor kebiasaan pelafalan Karinding. Namun saya meyakini jika
Jaap Kunts menuliskannya secara benar, karena jika dilihat, Jaap Kunts sudah
menuliskan ini semua dengan rapih, sebelum orang Indonesia sendiri sadar akan
kekuatan kearifan lokal yang ada. Jika penamaan Kareng telah hilang, mungkin
ini karena faktor waktu dan penggunaan, bersyukurlah Jaap Kunts sempat menuliskan
ini:
“...Tasik district the jew's
harp is called Karinding only when cut from aren wood; when made from bamboo it
is there called Kareng...”
“…di
Tasik jew’s harp yang di panggil Karinding
hanya yang terbuat dari pelepah aren, sedangkan yang terbuat dari bambu disebut
Kareng…”
(Jaap
Kunts, Music in Java: its History, its
Theory, and its Technique, Nijhoff, 1973 p.361)
Sebagian Cerita yang saya percaya!!!
Sebelum
bumingnya Karinding seperti saat ini, saya sempat berkunjung ke Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kuningan untuk menanyakan adakah grup atau
kelompok kesenian yang mengusung instrumen Karinding sebagai instrumen utama. Karena
sebelum menjadikan “Karinding Attack” sebagai objek skripsi, saya sempat berkeinginan
untuk mencari objek skripsi di kampung halaman sendiri. Selain untuk mengangkat
Kabupaten Kuningan juga dari faktor biaya yang bisa di minimalisir karena tidak
harus sewa kost dan bisa makan sepuasnya di rumah. Tapi saya termasuk beruntung
bisa menjadikan “Karinding Attack” sebgai objek skripsi, selain bisa berkenalan
dengan mamang-mamang kece, saya juga
bisa banyak belajar banyak dari mereka. Dan bisa membuka wawasan secara luas,
pokoknya banyak sekali yang didapatkan (intermezzo). Kembali ke pembicaraan
DISPARBUD Kab. Kuningan, saat itu saya berjumpa dengan salah satu staff di
sana, beliau menuturkan kelompok musik yang mengusung Karinding mungkin tidak
ada (pada saat itu), tetapi beliau menuturkan jika instrumen yang biasa
mendampingi Karinding yaitu Celempung/Celempungan, masih bisa di jumpai di kediaman bapak Caca di
Cigugur.
Hari
itu juga saya langsung bergegas menuju kediaman pak Caca di Cigugur. Beruntung tanpa
membuat janji sebelumnya, saya disambut dengan hangat oleh pak Caca. Yang langsung
menanyakan maksud dan tujuan saya menyambangi kediamannya. Lalu saya bercerita
mengenai ketertarikan saya terhadap instrumen Karinding dan Celempung, dan
kemudian direkomendasikan oleh DISPARBUD untuk menyambangi kediaman pak Caca. Ketika
saya membahas ikatan antara Celempung dan Karinding pak caca bergegas ke
ruangan belakang mengambil instrumen Celempung yang dia miliki. Yang membuat
saya Kaget adalah ketika pak Caca mengeluarkan pipa Bambu berisikan Karinding
sambil berucap ini Karinding asli buatan Kuningan, tapi pembuatnya sudah
meninggal. Hati saya langsung lesu ketika mendengar kata “meninggal” apalagi
pak Caca bercerita sudah tidak ada lagi yang meneruskan untuk membuat Karinding.
Pak Caca kembali bercerita jika orang-orang tua dulu bilang jika setiap rumah
di Cigugur, salah satu anggota keluarganya pasti ada yang mempunyai Karinding. Ini
membuktikan jika Karinding juga sempat menjadi Kesenian Primadona di Kabupaten
Kuningan. Sejak saat itu saya semakin percaya jika Karinding pernah hidup dan dimiliki
oleh sebagian rakyat Pasundan, Walau hanya dari cerita masyarakat (folkor).
Karinding Kuningan |
Celempung Kuningan |
Berita
mengejutkan selanjutnya hadir dari nenek saya sendiri, di usianya yang sudah
sangat renta mungkin sekitar 80-90 tahun, karena memang Emih sendiri tidak ingat dengan tahun lahirnya. Ini bukan cerita
fiksi karena saya percaya kepada Emih,
cerita ini hadir ketika saya secara tidak sengaja memainkan Karinding di kediaman
Emih. Secara reflek Emih berbicara setengah heran “hih si aa maen Karinding, jiga adi si Emih basa
gadis” (si aa main Karinding, seperti adik emih sewaktu gadis). Lalu beliau bercerita jika dulu adiknya
sering memainkan Karinding untuk mencari perhatian para teman laki-lakinya. Saya
lalu bersemangat menanyakan hal lainm mengenai Karinding, bagaimana tidak Emih yang sama sekali tidak saya sangka,
ternyata mengenal instrumen Karinding. Dan juga menjadi saksi hidup bagaimana
Karinding masih memiliki Fungsi sebagai penarik lawan jenis atau sebagai alat
untuk bergaul dengan rekan sebaya pada waktu itu. Kekagetan tidak sampai disitu,
ketika Emih memegang Karinding lalu
dengan raut muka heran berkata “Naha iyeumah Karinding teh Awi, Baheula mah
tinu beusi” (kenapa kok ini Karinding terbuat dari bambu, dulu terbuat dari
besi), lalu saya kembali menanyakan apakah yang di gunakan adik emih itu
benar-benar karinding terbuat dari besi. Dengan yakin emih menjawab jika memang
benar Karinding yang digunakan adiknya terbuat dari besi. Saya sempat dibuat
heran dan bingung bagaimana bisa Karinding yang selama ini hanya dikenal
terbuat dari bambu dan pelepah aren bisa ada yang terbuat dari besi. Sambil memendam
rasa tidak percaya (mungkin saja Emih lupa karena sudah puluhan tahun). Rasa penasaran
saya langsung saya tanyakan kepada google, mencari sampai dasar web-web yang
kurang laku. Sampai pada akhirnya menemukan satu halaman yang memuat “Karinding
Beusi” di halamannya. Saya berucap HORE! Ingatan Emih saya masih oke, dan memang Karinding Beusi pernah benar-benar
hadir di Pasundan (Jawa Barat). Beruntung dan bersyukur saya memainkan
Karinding di hadapan emih, dan ingatan emih yang masih keren (saya bersumpah
saya tidak bohong). Berikut bukti jika memang Karinding Beusi di muat dalam web
www.antropodium.nl/Duizend%20Namen%20Mhp%20NOMENCLATUUR.htm
dan berikut adalah screean capture dari web tersebut:
Screen Capture |
Web tersebut
merupakan kumpulan nama-nama Jew’s harp dari seluruh dunia yang dikumpulkan
dari beberapa literatur.
Berikut merupakan catatan-catatan kecil yang sebagian sudah
ada di skripsi, dan sebagian lagi tidak saya masukan karena memang hanya berupa
folkor atau obrolan dan juga sebagian ada yang merupakan spekulasi. Masih banyak
hal yang bisa dikaji dari instrumen sederhana ini. Semoga bisa bermanfaat…
mohon maaf jika banyak kesalahan dalam penulisan… terimakasih..
*di rangkum dari
berbagai sumber dan literatur yang sebagian sudah dituliskan di isi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar