Minggu, 27 Januari 2013

Mengendalikan



Sedikit mengenai prosa kasar saat ini dan dulu yang sebenarnya belum terlalu dulu, yang kemudian mencari benang yang menghubungkan menjadikan sifat dasar seorang anak manusia:

 Ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan disini, “saya tidak mahir bermain instrumen musik apapun”. Hanya bisa sedikit mengikuti dan perlu proses yang terus menerus sehingga bisa memainkannya. Kesalahan yang dirasakan terjadi ketika saya memilih Institusi Seni sebagai tempat  menimba ilmu. masih teringat di awal  tes seleksi masuk ISI, saya hanya belajar satu lagu yang terus menerus saya latih. Sehingga pakem ingatan menjadi patokan, kala itu saya bisa jamin di saat itu saya buta ritme apalagi melodi. Untunglah jurusan yang saya pilih menekankan saya terhadap pendeskripsian tertulis (Pengkajian Etnomusikologi). Entah apa yang ada dipikiran saya saat memandang Etnomusikologi sebagai sebuah ilmu. Ketidak tahuan secara jelas seperti apa ilmu ini menjadikan saya sedikit linglung dan kacau di awal semester. Proses pengenalan yang tidak disarankan untuk siapapun yang ingin masuk jurusan ini. Hanya berbekal ilmu antropologi yang saya sukai ketika duduk di bangku sekolah menengah atas, saya mendeskripsikan Etnomusikologi sama dengan antropologi yang ditambah bidang musik. Pemahaman dangkal mengenai musiklah yang membuat saya linglung setelah masuk jurusan ini.

Setelah bergelut dengan kekacauan, kerancuan, serta ketidak berdayaan di awal semester, semangat muncul ketika IP di awal semester meluncur mulus. Kaget, Bagaimana tidak dengan proses kegelisahan yang melanda di awal semester antara meneruskan kuliah atau stop dan pindah jurusan, IP yang didapatkan melebihi angan yang saya bayangkan. Setelah diselediki IP yang saya dapatkan saat itu bukanlah karena saya mahir dalam mata kuliah yang diambi,l apa lagi mata kuliah praktek. Hal itu lebih karena bagaimana proses memahami mata kuliah tersebut, dan juga di semester awal masih banyak mata kuliah umum yang sama dengan pelajaran di sekolah menengah. Masih teringat bagaimana saya perlu mengulang-ulang latihan gamelan Jawa sampai saya bisa memainkannya, itupun dengan hasil yang hanya lumayan jauh dari kata baik. prosesnya lebih  terhadap pola mengingat bukan karena feel yang dirasakan ketika memainkan. Berbeda dengan teman-teman saat itu yang memang telah memiliki latar belakang sebagai pemusik, paling tidak hidupnya pernah berhubungan dengan dunia musik.

Proses tersebut dijalani secara terus menerus, feel yang dirasakan ketika bermain musik akhirnya bisa sedikit terasa, butuh proses panjang untuk bisa merasakan nikmatnya bermain musik. Feel yang didapatkan sedikit banyaknya mempengaruhi proses belajar mata kuliah praktek pada saat itu, setidaknya walaupun saya tetap harus mengulang-ulang materi kuliah praktek namun dengan adanya feel yang didapatkan, itu menjadikan saya lebih enjoy dan tidak mudah menyerah dalam proses pembelajaran. Target saya saat itu adalah menghajar habis mata kuliah teori, karena teori dirasakan lebih mudah untuk dipelajari. Sedangkan dalam mata kuliah praktek saya hanya mematok target “bisa mengikuti” karena mata kuliah praktek memerlukan waktu yang lama dalam memahaminya.

Dalam prosesnya kemudian Saya dihadapkan dengan mata kuliah yang teramat sangat menakutkan saat itu. Bagaimana tidak Instrumen Bawaan diambil di semester 7, sedangkan berita “keangkeran” mata kuliah ini sudah terngiang-ngiang dari semester 3, dalam kurun waktu semester 3 sampai dengan semester 7 saya dihantui dengan mata kuliah ini, hal ini dikarenakan cerita dari kaka kelas dan juga proses kaka kelas yang mengambil instrumen ini, saya rasa ini sangat sulit!  dalam instrumen bawaan mahasiswa dituntut untuk mahir membawakan salah satu instrumen etnis dari daerahnya, memang Instrumen Bawaan tidak mewajibkan mahasiswanya untuk membuat komposisi musik, tetapi dalam instrumen Bawaan mahasiswa dituntut mahir dan menonjol dalam membawakan instrumen tersebut.

Satu hal yang saya pikirkan saat itu “saya harus membawakan instrumen apa?” karena saya tidak mempunyai riwayat hidup mahir dalam membawakan instrumen apapun. Untunglah saat itu ada Karinding, Rinding, dan Instrumen sejenis lainnya yang memang saya koleksi. Diawal saya sempat ragu apakah bisa instrumen sekecil dan se-sederhana itu bisa menjadi Instrumen Bawaan. . Pertemuan saya dengan Karinding (atau alat sejenis ini yang sejenis namun berbeda) adalah ketika saya berkunjung ke desa Beji Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunung Kidul. Dimana saya bertemu dengan Rinding variant yang sama dengan Karinding (Sunda) namun berbeda teknik permainan. Jadi sebelum saya bertemu dengan Karinding yang berasal dari tanah nenek moyang saya yaitu Sunda, saya dipertemukan terlebih dahulu dengan Rinding instrumen sejenis Karinding di tahun 2009. Setelah itu barulah saya tahu jika di Sunda juga ada instrumen sejenis Rinding yaitu Karinding. Singkat cerita sebelum bertemunya dengan mata kuliah instrumen bawaan saya sering menggunakan Rinding dan melatihnya secara tidak sengaja, karena rasa penasaran yang begitu besar bagaimana instrumen itu bisa mengeluarkan bunyi. Setelah saya mendapat Karinding (Sunda) yang saya cari langsung ke tempat pembuatannya di Parakanmuncang Kab. Sumedang. Saya semakin terlatih dan bisa menggunakan instrumen ini. Dan dari situlah saya berikrar dalam hati nurani yang paling dalam, bahwa saya mencintai instrumen ini. Dari hal itu kemudian berlanjut pada tugas-tugas kuliah dan tentunya Tugas Akhir Skripsi yang tak terlepas dari instrumen Karinding. Karinding yang kemudian seperti oksigen yang terus memberi nafas sampai saat ini, berlebihan mungkin?

Sebuah prosa yang kemudian menjadikan pondasi untuk tetap berusaha menjalani kehidupan kuliah diluar dari kemampuan saya sendiri. Sebuah proses dimana saya tidak mahir bermain musik tetapi berada dalam kampus yang berkaitan dengan musik. Menjadikan saya mencari celah dan beradaptasi untuk tetap menjalaninya dengan sekuat asa dan kemampuan. Dan tentunya faktor pendukung sebuah pemahaman dangkal mengenai jenis dari ilmu Antropologi yang kemudian malah menjadikan saya terus mencari seperti apa ilmu Etnomusikologi. Ketika saya menjadi suka menganalisis sebuah kejadian dan mendeskripsikannya secara singkat, tetapi juga bukan menjadikannya sebuah pembenaran, lebih terhadap Relativisme yang menjadikan saya lebih menimbang dan mencari letak sebuah tata pikir sebab dan akibat. Dari hal itulah muncul sikap kritis (walau kadang menjadi siksaan), suatu contoh ketika saya selalu gusar ketika dengan hal yang menurut saya tidak seperlunya disalahkan, namun kemudian menjadi salah. Karena saya lebih merasa sifat benar atau salah itu sebuah fleksibilitas dan relativ.

Nilai Pengendalian

Syukur alhamdulillah kabar ini mungkin telat saya beritahukan, saya sudah bekerja dan sedang dalam masa training selama tiga bulan. Jika dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya termuat bagaimana sulitnya mencari materi mandiri, saat ini dan semoga seterusnya materi mandiri bisa terus tercari dan terdapatkan. Aamiin.. Terlepas dari semua yang saya tuliskan, saat ini saya kembali dalam sebuah bingkai prosa yang sama yang mungkin nanti akan kembali menjadi hal yang menarik untuk diceritakan. Jika diatas saya ceritakan mengenai kehidupan kuliah saya di jalur yang tadinya saya tidak ketahui yaitu ilmu Etnomusikologi. Saat ini saya bekerja di bidang yang juga jauh dari ilmu yang saya dapatkan selama kuliah, saya bekerja di Perusahaan Jepang yang bergerak dalam bidang pendidikan Matematika dan Bahasa Inggris. Sampai jumpa di prosa selanjutnya, semoga saya bisa terus mengendalikan.. aamiin...