Minggu, 28 Oktober 2012

Kembali dengan Karinding


Muncul kembali keinginan saya untuk menuliskan instrumen sederhana yang selalu memberikan semangat dalam setiap getarannya. Setelah sebelumnya menempuh Tugas Akhir Skripsi dengan judul “Kelompok Musik Karinding Attack di Bandung Jawa Barat” saya kembali membuka catatan-catatan kecil mengenai instrumen Karinding, yang tidak dari semuanya dimasukan kedalam skripsi (jika dibuang sayang). diawali dari kimung salah satu personil Karinding Attack yang memang selama skripsi sering saya jumpai dan sering saya “ganggu” untuk mencari informasi dan keterangan mengenai  kelompok musik “Karinding Attack” yang menjadi objek utama skripsi saya. Kimung memberi kabar melalui twitter jika dia sedang menulis buku Sejarah Karinding Priangan, bayangan saya langsung tertuju kepada pertanyaan dosen penguji Skripsi saya mengenai halaman 23 yang membahas sejarah keberadaan Karinding, di halaman tersebut disebutkan bahwa mengenai keberadaan Karinding di tanah Pasundan, perlu tinjauan sejarah yang lebih khusus.
Rasa penasaran saya mengenai sejarah Karinding yang selama ini hanya berupa issue dan kebanyakan bersifat folkor atau cerita masyarakat yang kadang beda satu sama lainnya, akan segera dituliskan oleh Kimung. Semoga nantinya Buku Kimung bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagian pencinta instrumen Karinding, mengenai bagaimana Karinding hadir di tanah Priangan. Satu hal lain yang ingin saya sampaikan disini adalah semoga melalui catatan-catatan kecil saya ini bisa sedikit membantu Kimung dalam penulisan bukunya. Kalaupun tidak, biarkan ini sebagai jembatan pembebas unek-unek tulisan Skripsi saya yang belum semuanya tersampaikan, karena sangat disadari masih banyak lubang menganga yang harus ditambal.

Fun-tasi sejarah
Instrumen sejenis Karinding dianggap telah hadir di zaman pra-sejarah seperti di ungkapkan Curth Sachs dalam bukunya The history of musical instrumen dan Ragil Soeripto dalam Buletin Kebudayaan Jawa Barat “Kawit” yang terbit tahun 1992 menyebutkan:
the late stratum comprises those instrumen which, prehistorically, occur in more recent neolithic exavations, and, geographically, are confined to certain limited areas. these are: Rubbed wood , nose flute , friction drum, basketry rattle, cross flute, drum stick, xylophone, transvers trumpet , jaws harp this rough chronology, tought estabilished on the objective data of distribution and prehistory, gives satisfaction also to the mind concerned with workmanship and cultural level(The history of musical instrumen, curt sach, W.W. Norton & Company, Inc. United States of America. P. 64)

“Rachmat Ruchiyat berkesimpulan bahwa: disamping berkembangnya musik bambu di Indonesia erat sekali kaitannya dengan perpindahan penduduk dari daratan Asia 1000th SM bahkan jauh sebelumnya (10.000 – 5000 SM) sudah ada suku suku bangsa yang telah menetap juga dari daratan Asia yang sisa-sisanya antara lain di Irian Jaya ternyata memiliki berbagai alat musik dari bambu, antara lain yang menyerupai Karinding (Pasundan), atau Rinding atau genggong (Jawa Tengah & Jawa Timur) atau Bali Ginggung” (Ragil Soeripto, "Musik Bambu" Buletin Kebudayaan Jawa Barat, No. 45 (1998), p. 80)

Catatan Ragil Soeripto dipertanyakan oleh dosen penguji, karena menurut beliau kemungkinan hadirnya instrumen sejenis Karinding dari negara daratan asia saat perpindahan di 1000 tahun sebelum masehi, bukan faktor utama terbentuknya instrumen Karinding. Jika ditinjau dari segi bahan, bumi Pasundan merupakan endemik tumbuhan Bambu, bahkan pohon aren (kawung). Jadi jika kembali kepada teori Pono Banoe dan timbul harjono yang menyebutkan:

“Pada tahap awal, mulut, tangan, kaki, dan badan manusia dapat dipandang sebagai instrumen musikal yang bersifat internal.”
(Pono Banoe,  Pengantar Pengetahuan Alat Musik, Jakarta, C.V. Baaru, 1984. p.12)
Dalam tahap selanjutnya muncul beberapa instrumen eksternal yang terbuat dari kayu, bambu (tongtong), tulang (seruling), kulit kerang (trompet), kulit binatang (gendang), dan lain-lain.
(Timbul Haryono, Kendang Dalam dimensi Waktu, ruang, dan Bentuk, Yogyakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986. p. 2-3)

disimpulkan bisa saja instrumen Karinding Hadir karena didukung melimpahnya bahan baku yang bisa dijadikan instrumen musik. Inilah yang membuat saya selalu berfantasi mengenai sejarah terbentuknya Karinding, karena memang terlalu banyak jenis Jew’s Harp yang berkeliaran di muka bumi ini dan semuanya bisa jadi saling berhubungan dan semakin membuat saya berfikir bagaimana instrumen itu tersebar dengan bentuk dan fungsi yang hampir sama. Yang akhirnya malah menjadikan saya stuck untuk menuliskan lebih jauh bagaimana sejarah terbentuknya Karinding.

Apalah arti sebuah nama
Kemungkinan penamaan Karinding hadir dalam obrolan saya bersama Asep Nata. Beliau menuturkan jika mungkin saja penamaan Karinding hadir ketika Mataram menaklukan Kerajaan sunda. karena seperti yang saya ketahui Mataram dalam hal ini jawa mempunyai alat musik sejenis Jew’s harp yang mereka sebut dengan “Rinding” yang sampai saat ini masih bisa di jumpai di Desa Beji Ngawen Gunung Kidul. Hal ini dirasakan “mungkin” karena efek yang dihasilkan ketika masa peperangan bisa saja berpengaruh terhadap proses berkesenian masyarakat sekitar, seperti ketika portugis meninggalkan jejak dengan adanya musik Kroncong di Indonesia. Namun ini hanyalah spekulasi, karena nama yang mirip juga hadir dari Kalimantan yang menyebut instrumen sejenis dengan sebutan Gariding atau Garinding.
Karinding mempunyai dua alternatif bahan baku yaitu, bambu dan pelepah pohon aren. Hal yang menurut saya lebih penting mengenai penamaan, karena Di Tasik penyebutan Karinding hanya di gunakan kepada Karinding berbahan baku pelepah aren, sedangkan yang berbahan baku bambu disebut Kareng. Saat ini penyebutan Kareng jarang ditemui, mungkin karena faktor kebiasaan pelafalan Karinding. Namun saya meyakini jika Jaap Kunts menuliskannya secara benar, karena jika dilihat, Jaap Kunts sudah menuliskan ini semua dengan rapih, sebelum orang Indonesia sendiri sadar akan kekuatan kearifan lokal yang ada. Jika penamaan Kareng telah hilang, mungkin ini karena faktor waktu dan penggunaan, bersyukurlah Jaap Kunts sempat menuliskan ini:
“...Tasik district the jew's harp is called Karinding only when cut from aren wood; when made from bamboo it is there called Kareng...”
“…di Tasik jew’s harp yang di panggil Karinding hanya yang terbuat dari pelepah aren, sedangkan yang terbuat dari bambu disebut Kareng…”
(Jaap Kunts, Music in Java: its History, its Theory, and its Technique, Nijhoff, 1973 p.361)

Sebagian Cerita yang saya percaya!!!
Sebelum bumingnya Karinding seperti saat ini, saya sempat berkunjung ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kuningan untuk menanyakan adakah grup atau kelompok kesenian yang mengusung instrumen Karinding sebagai instrumen utama. Karena sebelum menjadikan “Karinding Attack” sebagai objek skripsi, saya sempat berkeinginan untuk mencari objek skripsi di kampung halaman sendiri. Selain untuk mengangkat Kabupaten Kuningan juga dari faktor biaya yang bisa di minimalisir karena tidak harus sewa kost dan bisa makan sepuasnya di rumah. Tapi saya termasuk beruntung bisa menjadikan “Karinding Attack” sebgai objek skripsi, selain bisa berkenalan dengan mamang-mamang kece, saya juga bisa banyak belajar banyak dari mereka. Dan bisa membuka wawasan secara luas, pokoknya banyak sekali yang didapatkan (intermezzo). Kembali ke pembicaraan DISPARBUD Kab. Kuningan, saat itu saya berjumpa dengan salah satu staff di sana, beliau menuturkan kelompok musik yang mengusung Karinding mungkin tidak ada (pada saat itu), tetapi beliau menuturkan jika instrumen yang biasa mendampingi Karinding yaitu Celempung/Celempungan,  masih bisa di jumpai di kediaman bapak Caca di Cigugur.
Hari itu juga saya langsung bergegas menuju kediaman pak Caca di Cigugur. Beruntung tanpa membuat janji sebelumnya, saya disambut dengan hangat oleh pak Caca. Yang langsung menanyakan maksud dan tujuan saya menyambangi kediamannya. Lalu saya bercerita mengenai ketertarikan saya terhadap instrumen Karinding dan Celempung, dan kemudian direkomendasikan oleh DISPARBUD untuk menyambangi kediaman pak Caca. Ketika saya membahas ikatan antara Celempung dan Karinding pak caca bergegas ke ruangan belakang mengambil instrumen Celempung yang dia miliki. Yang membuat saya Kaget adalah ketika pak Caca mengeluarkan pipa Bambu berisikan Karinding sambil berucap ini Karinding asli buatan Kuningan, tapi pembuatnya sudah meninggal. Hati saya langsung lesu ketika mendengar kata “meninggal” apalagi pak Caca bercerita sudah tidak ada lagi yang meneruskan untuk membuat Karinding. Pak Caca kembali bercerita jika orang-orang tua dulu bilang jika setiap rumah di Cigugur, salah satu anggota keluarganya pasti ada yang mempunyai Karinding. Ini membuktikan jika Karinding juga sempat menjadi Kesenian Primadona di Kabupaten Kuningan. Sejak saat itu saya semakin percaya jika Karinding pernah hidup dan dimiliki oleh sebagian rakyat Pasundan, Walau hanya dari cerita masyarakat (folkor).

Karinding Kuningan

Celempung Kuningan

Berita mengejutkan selanjutnya hadir dari nenek saya sendiri, di usianya yang sudah sangat renta mungkin sekitar 80-90 tahun, karena memang Emih sendiri tidak ingat dengan tahun lahirnya. Ini bukan cerita fiksi karena saya percaya kepada Emih, cerita ini hadir ketika saya secara tidak sengaja memainkan Karinding di kediaman Emih. Secara reflek Emih berbicara setengah heran “hih si aa maen Karinding, jiga adi si Emih basa gadis” (si aa main Karinding, seperti adik emih sewaktu gadis). Lalu beliau bercerita jika dulu adiknya sering memainkan Karinding untuk mencari perhatian para teman laki-lakinya. Saya lalu bersemangat menanyakan hal lainm mengenai Karinding, bagaimana tidak Emih yang sama sekali tidak saya sangka, ternyata mengenal instrumen Karinding. Dan juga menjadi saksi hidup bagaimana Karinding masih memiliki Fungsi sebagai penarik lawan jenis atau sebagai alat untuk bergaul dengan rekan sebaya pada waktu itu. Kekagetan tidak sampai disitu, ketika Emih memegang Karinding lalu dengan raut muka heran berkata “Naha iyeumah Karinding teh Awi, Baheula mah tinu beusi” (kenapa kok ini Karinding terbuat dari bambu, dulu terbuat dari besi), lalu saya kembali menanyakan apakah yang di gunakan adik emih itu benar-benar karinding terbuat dari besi. Dengan yakin emih menjawab jika memang benar Karinding yang digunakan adiknya terbuat dari besi. Saya sempat dibuat heran dan bingung bagaimana bisa Karinding yang selama ini hanya dikenal terbuat dari bambu dan pelepah aren bisa ada yang terbuat dari besi. Sambil memendam rasa tidak percaya (mungkin saja Emih lupa karena sudah puluhan tahun). Rasa penasaran saya langsung saya tanyakan kepada google, mencari sampai dasar web-web yang kurang laku. Sampai pada akhirnya menemukan satu halaman yang memuat “Karinding Beusi” di halamannya. Saya berucap HORE! Ingatan Emih saya masih oke, dan memang Karinding Beusi pernah benar-benar hadir di Pasundan (Jawa Barat). Beruntung dan bersyukur saya memainkan Karinding di hadapan emih, dan ingatan emih yang masih keren (saya bersumpah saya tidak bohong). Berikut bukti jika memang Karinding Beusi di muat dalam web www.antropodium.nl/Duizend%20Namen%20Mhp%20NOMENCLATUUR.htm dan berikut adalah screean capture dari web tersebut:
Screen Capture


Web tersebut merupakan kumpulan nama-nama Jew’s harp dari seluruh dunia yang dikumpulkan dari beberapa literatur.

Berikut merupakan catatan-catatan kecil yang sebagian sudah ada di skripsi, dan sebagian lagi tidak saya masukan karena memang hanya berupa folkor atau obrolan dan juga sebagian ada yang merupakan spekulasi. Masih banyak hal yang bisa dikaji dari instrumen sederhana ini. Semoga bisa bermanfaat… mohon maaf jika banyak kesalahan dalam penulisan… terimakasih..

*di rangkum dari berbagai sumber dan literatur yang sebagian sudah dituliskan di isi

Rabu, 24 Oktober 2012

Proses pengenalan terhadap apapun..


Bandung
19-24 Oktober 2012

Enam hari saya berada di Bandung, kota yang selalu menyuguhkan kerinduan keasikan dan proses dimana saya mewujudkan mimpi, mimpi berada disana, mimpi terhadap tim sepak bola kebanggaan, dan mimpi yang lainnya. Sama halnya dengan tujuan saya berada di Bandung selama enam hari mewujudkan mimpi setelah lulus kuliah, anggap saja ini proses pengenalan terhadap dunia sebenarnya. Memasuki dunia yang membuat orang saling berebut tempat untuk menjadikan hidupnya menghasilkan, menghasilkan apa yang dia inginkan, mungkin secara kasar sebut saja “materi mandiri”. Susunan jadwal di Bandung sudah saya rancang sebelum berangkat, ada beberapa tes dan walk in interview di beberapa perusahaan, dan selanjutnya datang dan berburu tempat di jobfair. Tes langsung di beberapa perusahaan sedikit membuat lega karena peserta hanya beberapa orang, namun tempat yang diperebutkan hanya satu. Sudahlah toh tujuan saya pada awalnya berkenalan dengan dunia mencari kerja. Nothing to lose saja. Selanjutnya adalah di Jobfair yang diselenggarakan oleh salah satu perguruan tinggi negri di Bandung disinilah saya semakin dikenalkan dengan dunia yang sesungguhnya, dunia dimana kita, saya, mereka, kamu atau siapapun berambisi untuk mendapatkan tempat yang bisa menghasilkan “materi mandiri”. Luar biasa sedikit menunduk setelah memasukan beberapa lamaran dan CV, saya berceloteh di dalam hati “berapa puluh perguran tinggi negri yang meluluskan mahasiswanya?, berapa puluh ribu mahasiswa yang lulus dalam satu semester?, berapa perusahaan yang membutuhkan sang pencari kerja?... sial ini gak seimbang!!” hari itu manusia menumpuk menyemuti stand stand perusahaan pencari pelamar. Lagi-lagi saya kembali ke niat awal agar hati ini tidak terlalu terdesak oleh keadaan “saya hanya ingin berkenalan”. Dari obrolan beberapa teman mereka dalam kondisi yang sama, itu sudah lebih cukup untuk menguatkan hati, hari itu saya tidak mau mengeluh, saya ingin menikmatinya dan saya enjoy. Terus berusaha kuat kuat kuat!! Ini sebuah proses terhadap pengharapan yang lebih baik, Semoga ada jalan, dan “materi mandiri” segera menghampiri. Aamiin…

Perut Kampung Halaman
25 Oktober 2012

Ini perkara kambing dan hal yang sudah lama tidak saya lakukan. Pencarian kambing kurban dimulai dari adanya kabar dari kakak sepupu saya yang berniat untuk berqurban di idul adha kali ini. Abah sebagai kakek yang baik dengan senang hati mencarikan kambing yang tepat untuk di kurbankan dan mengajak saya sebagai ojek dadakan dan pengawal pribadinya. Ada beberapa tempat yang dikunjungi dan abah tidak mau membeli kambing di bandar yang tentu saja akan menjual kambing lebih mahal dari harga normal di kandang. Jadi untuk itu abah mengajak untuk masuk ke dalam kampung mencari rumah warga yang mempunyai kambing untuk dijual. Tempat-tempat yang dikunjungi masih di area dalam desa, banyak hal yang saya jumpai terlepas dari kambing yang sedang dicari. Tempat yang sudah lama tidak dikunjungi, berbincang dengan masyarakat, menelusuri jalan yang sudah lama tidak dilewati. Seperti berkenalan kembali dengan masa lalu, daerah yang dulu sering saya lalui ketika bermain semasa menjadi bocah. Kenangan-kenangan itu kembali hadir dalam angan, menyenangkan rasanya.
Ketika abah berbincang dengan salah satu warga bermaksud untuk menanyakan rumah warga yang menjual kambing, ada satu hal yang membuat saya sedikit miris. Sebut saja wa emod, beliau baru saja kehilangan jempol kakinya, di usianya yang senja beliau bekerja sebagai petani,  luar biasa sosok yang gigih dilihat dari usia dan bobot pekerjaan yang dia pikul. namun dalam obrolan tersebut beliau menuturkan sudah selepas lebaran idul fitri beliau tidak lagi beraktifitas, teman abah yang biasanya sering di jumpai di masjid ketika jumatan itu menuturkan jempolnya hilang karena daging dalam kukunya membusuk, entah apa nama penyakitnya, namun jika tidak dipotong yang terjadi adalah menyebarnya pembusukan. Abah tertegun dan mengucapkan astagfirulloh sambil menatap wa emod lalu berbicara, “sabar nya wa, nuju aya cocoba, mugia si uwa kuat, tawakal, insya allah enggal damang deui..” wa emod lalu menimpalnya dengan kata “aamiin pak haji..”. satu hal yang saya pelajari adalah ketika wa emod masih bisa tertawa lepas ketika abah mengajaknya becanda “moal bisa totoker atuh wa ayeunamah” wa emod menimpalinya dengan tertawa lepas, hal yang sedikit membuat saya yakin wa emod memiliki semangat yang seketika seperti muncul di tengah penyakit yang sedang di hadapi. Semoga wa emod cepat sembut dan tetap semangat dan tertawa seperti yang tadi saya lihat. Aamiin…
Kembali ke kambing dengan mencari kandang warga yang lain karena setelah dua tempat yang dikunjungi kambing sudah laku dijual ke bandar, tempat selanjutnya adalah kambing milik mang uka dan mang ojon, ada dua pilihan disini dengan kambing yang sehat dan cocok untuk menjadi daging qurban, tapi usia kambing tersebut belum mencapai dua tahun, dan juga belum ada gigi yang tanggal, Abah menilai seperti itulah persyaratan kambing qurban. Disini juga saya kembali berkenalan, berkenalan dengan bahasa sunda logat kuningan yang sudah lama tidak saya dengar, mang ojon sosok yang masih kental logat Kuningannya, dengan bahasa sunda yang lebih kasar dari sunda lainnya mang ojon menjelaskan keriteria kambing yang dia miliki, “iyeu pak urang ngingu jenuk, ayeuna kari sakieu di beuli ku bandar, alhamdulillah jeung jajan budak” saya sedikit tersenyum mendengar logat mang ojon, karena ketika di jogja saya lebih banyak berinteraksi dengan orang tasik yang logat bahasa Sunda-nya lebih halus, dan juga ketika dirumah saya dikenalkan dengan bahasa Sunda yang lebih halus walau nyatanya masih lebih kasar dari sunda priangan. Namun bahasa mang ojon ini khas sekali logat Kuningan, saya senang dan sempat sedikit merekam melalui handphone ketika abah dan mang ojon berbincang. Dari proses pengenalan-pengenalan tersebut, banyak pelajaran yang bisa diambil dimana saja dan kapan saja, sekarang saatnya untuk memahami pelajaran-pelajaran hidup tersebut, untuk menjadikan saya lebih kuat dalam menghadapi apapun. Aamiin…