Sedikit bercerita tentang panggung. Sudah sangat jarang sekali saya menonton konser musik, padahal dulu saat Kuliah hampir setiap minggu saya bisa menonton pertunjukan seni. Ya jelas, saya kuliah di Fakultas Seni Pertunjukan yang memang setiap minggunya ada saja pertunjukan yang bisa di apresiasi. Era tersebut adalah dimana saya mendapatkan banyak sekali influence tentang panggung. Dimulai dari panggung kecil tanpa lighting dan sound system, sampai dengan panggung penuh efek lampu dan sound yang memanjakan gendang telinga. Pada akhirnya saya mengerti bahwa sesungguhnya yang tak bisa dikalahkan dalam sebuah pertunjukan adalah isi dari apa yang dipertunjukan. Tentu ini sangatlah subjektif karena berhubungan dengan nilai. Sedangkan dalam nilai tersebut tergantung pada individu yang memberikan apresiasi. Pertanyaan selanjutnya jika Seni itu tidak bisa di nilai, lalu mengapa ada Institusi yang mengajarkan seni dengan cara di nilai, yang seharusnya tak ternilai dengan huru A, B, atau C. hmmm sudah ku duga, ini pembahasan yang sulit.
Kembali ke panggung, selepas masa perkuliahan. Panggung yang
saya apresiasi menjurus ke budaya pop. Saya menonton konser Metal Burgerkill di
Senayan sampai yang terakhir saya menonton Raisa manggung di salah satu pentas
seni salah satu SMK swasta di Jakarta. Jauh sekali dari apa yang saya sering
tonton ketika di masa perkuliahan. Dan juga kuantitas menonton pertunjukan saat
bekerja jauh sekali berkurang, praktis dalam 4 tahun setelah kelulusan saya
hanya menonton kurang dari 10 pertunjukan, itu pun tidak semuanya rampung saya
tonton.dasar sarjana seni Murtad!
Saya hanya ingin lebih banyak kesempatan untuk mengapresasi
pertunjukan. Menyenangkan bernyanyi dalam konser, atau hanya ikut menganggukan kepala karena tidak
hafal lagu. Dan yang terpenting saya harus bisa mendokumentasikan pertunjukan
dengan lebih baik. Karena sejarah selalu ditulis oleh Pemenang. Gak nyambung!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar