Sedikit mengenai prosa kasar saat
ini dan dulu yang sebenarnya belum terlalu dulu, yang kemudian mencari benang
yang menghubungkan menjadikan sifat dasar seorang anak manusia:
Ada beberapa hal yang perlu saya jelaskan
disini, “saya tidak mahir bermain instrumen musik apapun”. Hanya bisa sedikit
mengikuti dan perlu proses yang terus menerus sehingga bisa memainkannya.
Kesalahan yang dirasakan terjadi ketika saya memilih Institusi Seni sebagai
tempat menimba ilmu. masih teringat di awal tes seleksi masuk ISI, saya hanya belajar
satu lagu yang terus menerus saya latih. Sehingga pakem ingatan menjadi patokan,
kala itu saya bisa jamin di saat itu saya buta ritme apalagi melodi. Untunglah
jurusan yang saya pilih menekankan saya terhadap pendeskripsian tertulis
(Pengkajian Etnomusikologi). Entah apa yang ada dipikiran saya saat memandang
Etnomusikologi sebagai sebuah ilmu. Ketidak tahuan secara jelas seperti apa
ilmu ini menjadikan saya sedikit linglung dan kacau di awal semester. Proses pengenalan
yang tidak disarankan untuk siapapun yang ingin masuk jurusan ini. Hanya
berbekal ilmu antropologi yang saya sukai ketika duduk di bangku sekolah
menengah atas, saya mendeskripsikan Etnomusikologi sama dengan antropologi yang
ditambah bidang musik. Pemahaman dangkal mengenai musiklah yang membuat saya
linglung setelah masuk jurusan ini.
Setelah bergelut dengan
kekacauan, kerancuan, serta ketidak berdayaan di awal semester, semangat muncul
ketika IP di awal semester meluncur mulus. Kaget, Bagaimana tidak dengan proses
kegelisahan yang melanda di awal semester antara meneruskan kuliah atau stop
dan pindah jurusan, IP yang didapatkan melebihi angan yang saya bayangkan.
Setelah diselediki IP yang saya dapatkan saat itu bukanlah karena saya mahir
dalam mata kuliah yang diambi,l apa lagi mata kuliah praktek. Hal itu lebih
karena bagaimana proses memahami mata kuliah tersebut, dan juga di semester
awal masih banyak mata kuliah umum yang sama dengan pelajaran di sekolah
menengah. Masih teringat bagaimana saya perlu mengulang-ulang latihan gamelan
Jawa sampai saya bisa memainkannya, itupun dengan hasil yang hanya lumayan jauh
dari kata baik. prosesnya lebih terhadap
pola mengingat bukan karena feel yang
dirasakan ketika memainkan. Berbeda dengan teman-teman saat itu yang memang
telah memiliki latar belakang sebagai pemusik, paling tidak hidupnya pernah
berhubungan dengan dunia musik.
Proses tersebut dijalani secara
terus menerus, feel yang dirasakan
ketika bermain musik akhirnya bisa sedikit terasa, butuh proses panjang untuk
bisa merasakan nikmatnya bermain musik. Feel
yang didapatkan sedikit banyaknya mempengaruhi proses belajar mata kuliah
praktek pada saat itu, setidaknya walaupun saya tetap harus mengulang-ulang
materi kuliah praktek namun dengan adanya feel
yang didapatkan, itu menjadikan saya lebih enjoy dan tidak mudah menyerah dalam
proses pembelajaran. Target saya saat itu adalah menghajar habis mata kuliah
teori, karena teori dirasakan lebih mudah untuk dipelajari. Sedangkan dalam mata
kuliah praktek saya hanya mematok target “bisa mengikuti” karena mata kuliah
praktek memerlukan waktu yang lama dalam memahaminya.
Dalam prosesnya kemudian Saya dihadapkan
dengan mata kuliah yang teramat sangat menakutkan saat itu. Bagaimana tidak
Instrumen Bawaan diambil di semester 7, sedangkan berita “keangkeran” mata
kuliah ini sudah terngiang-ngiang dari semester 3, dalam kurun waktu semester 3
sampai dengan semester 7 saya dihantui dengan mata kuliah ini, hal ini
dikarenakan cerita dari kaka kelas dan juga proses kaka kelas yang mengambil
instrumen ini, saya rasa ini sangat sulit! dalam instrumen bawaan mahasiswa dituntut
untuk mahir membawakan salah satu instrumen etnis dari daerahnya, memang
Instrumen Bawaan tidak mewajibkan mahasiswanya untuk membuat komposisi musik,
tetapi dalam instrumen Bawaan mahasiswa dituntut mahir dan menonjol dalam
membawakan instrumen tersebut.
Satu hal yang saya pikirkan saat
itu “saya harus membawakan instrumen apa?” karena saya tidak mempunyai riwayat
hidup mahir dalam membawakan instrumen apapun. Untunglah saat itu ada
Karinding, Rinding, dan Instrumen sejenis lainnya yang memang saya koleksi. Diawal
saya sempat ragu apakah bisa instrumen sekecil dan se-sederhana itu bisa
menjadi Instrumen Bawaan. . Pertemuan saya dengan Karinding (atau alat sejenis
ini yang sejenis namun berbeda) adalah ketika saya berkunjung ke desa Beji
Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunung Kidul. Dimana saya bertemu dengan Rinding variant yang sama dengan Karinding (Sunda)
namun berbeda teknik permainan. Jadi sebelum saya bertemu dengan Karinding yang
berasal dari tanah nenek moyang saya yaitu Sunda, saya dipertemukan terlebih
dahulu dengan Rinding instrumen sejenis Karinding di tahun 2009. Setelah itu
barulah saya tahu jika di Sunda juga ada instrumen sejenis Rinding yaitu
Karinding. Singkat cerita sebelum bertemunya dengan mata kuliah instrumen
bawaan saya sering menggunakan Rinding dan melatihnya secara tidak sengaja,
karena rasa penasaran yang begitu besar bagaimana instrumen itu bisa mengeluarkan
bunyi. Setelah saya mendapat Karinding (Sunda) yang saya cari langsung ke
tempat pembuatannya di Parakanmuncang Kab. Sumedang. Saya semakin terlatih dan
bisa menggunakan instrumen ini. Dan dari situlah saya berikrar dalam hati
nurani yang paling dalam, bahwa saya mencintai instrumen ini. Dari hal itu
kemudian berlanjut pada tugas-tugas kuliah dan tentunya Tugas Akhir Skripsi
yang tak terlepas dari instrumen Karinding. Karinding yang kemudian seperti oksigen
yang terus memberi nafas sampai saat ini, berlebihan mungkin?
Sebuah prosa yang kemudian
menjadikan pondasi untuk tetap berusaha menjalani kehidupan kuliah diluar dari
kemampuan saya sendiri. Sebuah proses dimana saya tidak mahir bermain musik
tetapi berada dalam kampus yang berkaitan dengan musik. Menjadikan saya mencari
celah dan beradaptasi untuk tetap menjalaninya dengan sekuat asa dan kemampuan.
Dan tentunya faktor pendukung sebuah pemahaman dangkal mengenai jenis dari ilmu
Antropologi yang kemudian malah menjadikan saya terus mencari seperti apa ilmu Etnomusikologi.
Ketika saya menjadi suka menganalisis sebuah kejadian dan mendeskripsikannya
secara singkat, tetapi juga bukan menjadikannya sebuah pembenaran, lebih
terhadap Relativisme yang menjadikan saya lebih menimbang dan mencari letak
sebuah tata pikir sebab dan akibat. Dari hal itulah muncul sikap kritis (walau kadang
menjadi siksaan), suatu contoh ketika saya selalu gusar ketika dengan hal yang
menurut saya tidak seperlunya disalahkan, namun kemudian menjadi salah. Karena saya
lebih merasa sifat benar atau salah itu sebuah fleksibilitas dan relativ.
Nilai Pengendalian
Syukur alhamdulillah kabar ini mungkin
telat saya beritahukan, saya sudah bekerja dan sedang dalam masa training
selama tiga bulan. Jika dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya termuat bagaimana
sulitnya mencari materi mandiri, saat ini dan semoga seterusnya materi mandiri bisa
terus tercari dan terdapatkan. Aamiin.. Terlepas dari semua yang saya tuliskan,
saat ini saya kembali dalam sebuah bingkai prosa yang sama yang mungkin nanti
akan kembali menjadi hal yang menarik untuk diceritakan. Jika diatas saya
ceritakan mengenai kehidupan kuliah saya di jalur yang tadinya saya tidak
ketahui yaitu ilmu Etnomusikologi. Saat ini saya bekerja di bidang yang juga jauh
dari ilmu yang saya dapatkan selama kuliah, saya bekerja di Perusahaan Jepang
yang bergerak dalam bidang pendidikan Matematika dan Bahasa Inggris. Sampai jumpa
di prosa selanjutnya, semoga saya bisa terus mengendalikan.. aamiin...